Di cerita terakhir tentang dokter dan RS, aku dan Pak Baba memang udah memutuskan untuk lanjut di RS UGM. Alasannya karena bisa pakai BPJS dengan rujukan dari faskes pertama. Sayangnya, keyakinan itu nggak bisa dilanjutkan, T.T.
Saat kontrol di bulan Juni lalu, aku datang ke faskes 1 (dr.umum) untuk periksa. Di sana, aku nggak diperiksa dan langsung dirujuk ke RS karena cerita riwayat hamil sebelumnya dan resiko hipertensi, dll. Sebelumnya, bisa langsung dirujuk ke RS UGM, kan. Eh, saat itu udah nggak bisa lagi. Katanya peraturannya berubah mulai 1 Juni 2018. Dari faskes 1 wajib merujuk ke rumah sakit tipe D, sebelumnya bisa langsung ke tipe C dan B. Fyi, RS UGM itu rumah sakit tipe B. Tentang tipe-tipe ini sila cari tahu sendiri ya. Intinya sih, tipe A lebih tinggi (fasilitas dan layanan lebih memadai) dari tipe B, C, juga D. Sebagai contoh, RS Sardjito itu tipe A.
Lanjut tentang rujukan ya. Di faskes 1 ini udah pakai sistem online, jadi surat rujukannya nggak bisa ditulis manual. Faskes rujukan pun hanya bisa pilih yang tersedia di komputer. Kalau di faskes 1 ku itu (masuknya kabupaten Sleman) kami bisa milih mau kemana. Pilihannya adalah RS-RS tipe D se-Jogja baik kota maupun kabupaten, jadi nggak berdasar wilayah kabupaten tertentu doank. Saat itu RS rujukan yang kukenal ada: RS Condong Catur, RS Happyland, RS Queen Latifa, RS Hidayatullah, dll, yang lain aku kurang familiar.
Akhirnya kami memilih RS Queen Latifa dengan pertimbangan cuma selemparan batu dari rumah. Kepikiran juga Happyland yang cukup populer untuk lahiran ibu-ibu. Tapi, kembali lagi tentang jarak, terlalu jauh dari rumah.
Jadiii, datanglah kami ke RS Queen Latifa berbekal surat rujukan, ketemu dr. Herlina, SpOg. Periksa lancar jaya, dokter komunikatif, mendengarkan, dan kasih kesempatan kami untuk bertanya sepuasnya. Saat bayar, kami nggak full free. Loh, kok bisa? Katanya pakai BPJS? Iya karena vitamin yang diresepin dokter nggak dicover BPJS. Bisa aja sih aku minta ganti dengan vitamin yang bisa dicover. Toh, nyatanya pas di RS UGM dulu bener-bener bisa 0 rupiah kok kontrolnya. Tapi, udah terlanjur dan galau juga nanti kandungan dalamnya beda, begitu menurut apotekernya. Yaudah deh, lumayan harga vitamin untuk 3 minggu 180ribu. Fiuh.
Nah, rencananya, aku akan qonaah lanjut kontrol di RS Queen Latifa ini sampai melahirkan dengan harapan aku bisa dapat rujukan melahirkan dari faskes pertama.
Ya aku emang ada rasa kecewa sih nggak jadi lanjut di RS UGM (cuma karena RS UGM mayan lebih glamor dikit penampilannya daripada Queen Latifa, hahaha). Sebagai alumni RS JIH yang superglamor, makluminlah ke-nggaksignifikan-ku. Tapi, aku juga bisa paham kok aturannya. Aku bukan kaum yang akan dengan mudah ngejudge "ribet pakai BPJS". Bukannya aku nggak ngakuin ya sistem dan pelayanan masih ada kurang sana-sini. Tapi, ya memang harus ada aturan kan ya, yang pakai juga banyak orang. Toh, aturannya tuh juga nggak dzolim, udah mempertimbangkan faktor keselamatan. Cuman, kadang kita tuh suka sotoy gitu loh, merasa gawat padahal enggak, wkwkw. Contohnya aku nih, ya aku emang nggak ada masalah apa-apa di kehamilanku sekarang, harusnya malah cukup lahiran di bidan aja kalau lancar sampai HPL ya. Cuman, aku bisa dirujuk karena ada riwayat cesar dan resiko pre eklamsi. Resiko ya, bukan vonis udah pre eklamsi. Nah, kasus kayak gini di RS Queen Latifa itu mampu menangani. Misalnya nanti ada kejadian yang mereka nggak mampu, pasti akan dirujuk lagi ke RS dengan tipe lebih tinggi. Kalok di kasusku ini, aku tanya kemungkinan apa yang membuatku bisa dirujuk ke RS tipe B bahkan A?
Dr. Herlina jelasin, aku bisa dirujuk lagi kalok nanti misalnya tensinya terpantau tinggi banget lebih dari 180 atau berat bayi di kandungan kurang dari minimal 2500 gram karena butuh NICU yang mereka nggak ada. Nah, ini ngerujuknya bisa sebelum proses melahirkan katanya, jadi dipantau terus aja.
Memang sih, itu kadang bisa bikin kita panik. Gimana nanti kalok dirujuk pas darurat banget harus pindah RS? Jujur aja eik juga adalah ketakutan itu. Cuman, kembali lagi ya sama pertimbangan aturan medisnya emang gitu. Banyak-banyak doa aja, dan positif thinking. Ngomong aja gampang lu bund, biasanya juga mewek-mewek,LOL. Kalok emang nggak bisa menolerir itu, ya bye BPJS aja. (Tapi nggak usah maki-maki BPJS cintaque juga lu ye).
Sejauh ini aku tetep kekeuh pengin berusaha pakai BPJS karena itu satu-satunya asuransi yang kupunya. Bodo amat deh kalok ada yang komen negatif kayak, "ih ribet deh, ih ga takut nanti kalok darurat, ih peritungan bgt demi anak."
Komen-komen kayak gitu (meski kadang rada menyinggung kayak oe miskin amat ya, nyoh duik iki duik aku yo duwee, lol) justru membuatku makin pengin membuktikan bahwa bersama BPJS kita bisa, wakakaka #antekpemerintah. Maksudku, emang itu hak kita yang bisa dimanfaatin kenapa enggak? Toh kita juga iuran tiap bulan untuk BPJS ini. Budjet lahirannya bisa buat hal lain misal kambing aqiqah,
Meski begitu, aku juga nggak mau saklek kalok emang mentok BPJS nggak bisa, tetep harus siap keluar uang sendiri, sih. Intinya berusaha memahami aja setiap situasi dan aturan. Ikuti alurnya dengan (berusaha) gentle, namaste hahahaha.
Ebused udah puanjang banget ya, Mah? Kayana segini dulu curhatan dari eik ya. Silakan dibuka termin pertanyaan jika ada.
Moga mangfangat, yah!
Love,
@diladol
SEBAGAI SESAMA ANTEQUE PEMERINTAH, AKU MENDUKUNGMU UNTUK JADI KELINCI PERCOBAAN BPJS HAMDUN BUN.
BalasHapusSEMOGA LANCAR SELALU TANPA WASWAS SUATU APAPUN.
GO BUN DIL!
Ya ampun baru baca, thanks kanana *love*. harus kelinci percobaan bgt neeeeh? grrrr
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus