Senin, 30 Juli 2018

Cerita Hamil Mil #10: Rekap Babymoon Selama Hamil


Cie sok gaya-gayaan pake istilah babymoon, hehehe. Yah, anggep aja begituh yah. Selama hamil, eij emang beberapa kali cao ke luar kota, sih. Direkap di sini buat kenang-kenangan, yha. Biar nggak sepaneng, karena postingan-postingan yang lalu penuh dengan keribetan dan kesetresan. Saatnya mengingat kembali hal-hal asyique yang patut disyukuri selama hamil kedua ini :).

Here we go....

BALI
Desember 2017, saat hamil 2 bulan.

Setelah merengek-rengek ke Pak Baba minta liburan akhir tahun, akhirnya diturutin. Tahun-tahun sebelumnya, kami biasanya mudik ke Perlis, Malaysia di akhir tahun. Namun, mulai 2016 emang nggak bisa lagi karena papa mertuaku berpulang. Soo, akhir tahun 2017 lalu pengin deh kemana.

Setelah perbincangan alot, akhirnya diputuskan ke Bali lagi dengan bujet seminim mungkin karena destinasi Bali pasti udah pernah dikunjungin, kan. Sayangnya, tujuan irit nggak terlaksana blas, karena beberapa hari sebelum cabut (semua hotel dan pesawat udah dipesen) malah Kala masuk RS. Tuhanku. Terancam batal bepp liburan kami. Setelah seminggu di RS, jeda 1 hari, kami nekat mutusin berangkat!

Rencana semula mau 6 hari di Bali, kami pangkas jadi 4 hari aja. Untung hotel dan pesawat bisa refund, meski yang pesawat nggak bisa full.

Eh, tapi ada hikmahnya. Jadinya kami beli tiket berangkat baru dengan Garuda Indonesia (meski harga mencekique leher yang penting jadi liburan). Yeeey! Hahaha, maklumin aja norak. Jarang buanget naik garuda soalnya. Kala seneng bukan main di pesawat nonton macem-macem.



Keputusan untuk tetep berangkat ini alhamdulillah nggak salah karena Kala supersehat dan superhappy sepanjang liburan. Aku juga, meski mual-mual nggak karuan tapi tetep happy karena kerjaan di tahun itu sungguh bikin aku eneg. Hehehe.

Kami menginap 1 malam di Kuta di Hotel Kampung Cenik. Bagiku sih berkesan, hotelnya kayak villa. Tapi, bagi Pak Baba yang lebih suka modernitas kurang puas. Liburan ini nggak muluk-muluk. Kami cuma pengin santai di pantai dan mal, hahaha. Cuma ganti suasana aja. Kami bukan tipe keluarga yang suka piknik ke tempat-tempat wisata banget, apalagi yang nggak gratis macam Bali Zoo atau Waterboom dll.





Malam kedua dan ketiga kami habiskan di...Legian. Wakaka. Emang bener-bener turis menstrim, sukanya yang rame dan kota. Lah tiap hari juga buka pintu udah sawah semua. Pak Baba bersikeras menolak ke Ubud dan semacamnya. Kami menginap di apartemen komplek Hotel & Residence Jayakarta. Agendanya apa? Jalan ke pantai, renang, makan di kafe, hehehe.

Yang jadi hilite untukku adalah nasi ayam kedewatan Ibu Mangku di Seminyak. Ya ampun, kalok nggak lagi hamil pasti nikmat banget. Aku tulis juga reviewnya di sini.



Well, liburan ke Bali ini alhamdulillah menyenangkan! ;)

MAGELANG
JANUARI 2018, hamil 2 bulan

Ini staycation super nggak sengaja. Diajakin ikut nginep di Plataran Borobudur, cobaaa, sama Traveling Precils! Siapa yang bisa nolak? Bener-bener menikmati kemewahan dalam satu malam. Kami menginap di sini begitu sampai lagi di Jogja dari Bali.

Kami malam tahun baruan di hotel. Agendanya leyeh-leyeh, makan sarapan buffet yang enak-enak, sepedaan, dan menikmati kamar dengan gelimang kemewahan, hehehe.




SOLO SURAKARTA
Maret 2018, hamil 5 bulan.

Dalam rangka apa yha ini? Kayaknya cuma pengin aja ke luar kota, hahaha, tapi yang deket. Kami mutusin ke Solo naik mobil, gayanya roadtrip gitu, padahal ya 2 jam udah sampek, LOL.

Agendanya apa? Seperti biasa, jajan-jajan, hotel, dan mal aja. Wkwkw. Kami nginap 2 malam di Hotel Paragon, tergiur karena nyambung sama Mal Paragon. Sehari bisa bolak-balik ke mal tanpa lelah, hehehe.

Jajan-jajannya ya nasi liwet, nasi timlo, selad solo, roti orion, susu si jack, nasi kebuli, dan soto kirana.





Hilitenya apa? KAMI KETEMU PAK JOKOWI DI MAL PARAGON EMJI! Sumpah seneng banget kaget hahaha. Beliau lagi jalan-jalan sama keluarga. Mama mertua dan Kala bahkan sempet foto bareng. Ini bener-bener hilite sih, nggak santai oeee ketemu presiden sekasual ituhhh.

Oiya, kuinget ini malam pertama perutku sakit nggak enak, dan sempet ngecek flek setitik doank. Apa kecapekan naik mobil ya? Nggak ngerti sih, tapi alhamdulillah ke depannya sehat aman.

PURWOKERTO
April 2018. Hamil 6 bulan.

Yey! Ke Purwokerto lagi. Aku seneng tiap ke sini, jajan mendoan yang superotentik enaknya. Pak Baba dan Mama pun seneng karena mereka pernah tinggal lama banget di kota ini. Dari Pak Baba SD sampai SMA.



Kami naik kereta ke kota ini dalam rangka kondangan teman SMA Pak Baba. Aku dan Pak Baba-Kala nginep di Guest House Natura, sedangkan Mama di rumah saudara yang letaknya sekomplek sama guest house.

Selain kondangan, kami jajan-jajan cantik, jalan kaki ke pasar cari mendoan, juga yang wajib makan sroto jalan bank. Hehehe.




Meski cuma 1 malam, asyique juga jalan-jalan kali ini karena kami dapat pinjaman mobil dari sepupu. Hehehe.

APARTEMEN MATARAM CITY
Juli 2018, hamil 8 bulan.

Masih pengin jalan-jalan, tapi males jauh-jauh. Akhirnya kami putuskan untuk staycation aja di apartemen Mataram City. Ini gabung sama hotel Alana.

Kami menginap 1 malam di salah satu kamarnya yang cakep banget, sewa via airbnb. Sekalian deh foto materniti ala-ala.





Agendanya, si sini? Ya cuma leyeh-leyeh, renang, leyeh-leyeh lagi. Malamnya kami makan di SS sebelah hotel. Paginya kami makan soto VW Gareng di dekat hotel, Lempongsari. Ceritanya sekalian nostalgia dulu sempat tinggal di daerah ini 2 tahun. Dari Kala bayi sampai 2 tahun. Seneng juga, sempat mampir ke rumah ibu kontrakan, tapi pas pergi. Lihat-lihat rumah kontrakan kami dulu dari luar ;). Duh memorable banget deh rumah itu. Saat-saat Kala bayi dan full diasuh Pak Baba sambil kuliah selama aku udah masuk kerja lagi ;').

Yha lumayan lah ya rekap liburan tipis-tipisque selama hamil. Semoga nanti Baby no.2 keluar dengan sehat kuat bisa jalan-jalan berempat. Ke Jepang? Ke Jerman? Nyicil ngayal babu dulu ;).

Love,
@diladol


Sabtu, 28 Juli 2018

Cerita Hamil Mil #9 : Drama Persalinan dengan BPJS, Enyahlah Negative Vibes~

Curhat dooooonk, Maaaaaaaaah!
Iyaaaaa, doooong~

Mulai dari mana ya cerita ini? Hehehe. Otakku capek banget sebenarnya mau nyeritain. Tapi, mayan juga diceritain dalam tulisan, biar ngurang-ngurangin beban. Baiklah, kucoba cerita ya tentang rencana persalinanku. Btw, saat ini kehamilanku hampir 38 minggu, wuhuu, udah semakin dekat insyaallah.

Sayangnya, mendekati persalinan ini, aku bukannya fokes ke hal-hal penting, malah dipusingkan dengan prosedur persalinan dengan BPJS, LOL. Eh, ini penting juga sih, ya, mengingat berkaitan dengan persiapan biaya nanti ^^.

Jadi gini. Saat week 35 dan 36 lalu, aku sibuk cari info tentang prosedur persalinan BPJS, karena terancam nggak bisa melahirkan di Queen Latifa. WOW, fantastic! Kemarin kan aku sempat cerita (scroll aja postingan di bawah) bahwa tadinya bisa melahirkan di RS UGM, tapi trus down grade ke Queen Latifa, kan? Nah, ini terancam lagi bakalan nggak bisa juga, wkwkwk.

Cerita bermula saat aku kontrol ke dr. Arum Sari di Queen Latifa. Aku mengutarakan niatanku untuk bersalin dengan BPJS, apakah bisa? Beliau jawab bisa, asal mengikuti prosedur, yaitu dengan rujukan dari faskes 1. Selanjutnya kubikin format tanya jawab aja yah, biar lebih jelas.

Kapan saya bisa minta rujukan faskes 1 dan             mengajukan ke RS ini?

Prosedurnya ya saat mulai kenceng-kenceng alias kontraksi, harus ke faskes 1 dulu. Kalau  faskes 1 nggak 24 jam, ya cari faskes yang 24 jam.

Apakah saya harus pindah faskes? Karena faskes saya dokter umum dan nggak 24 jam.

Tidak, faskes 24 jam mana pun, bisa merujuk.

Baique~

Kesimpulan yang dapat kuambil adalah aku harus ke faskes 1 dulu saat mulai kontraksi untuk dapat rujukan ke RS. Saat itu kumulai galau, gimana kalau kerasanya tengah malem? Oke, aku lanjut tanya ke faskes 1 ku yah.

Di faskes 1...

Di sini aku super duper pusing banget, hahaha. Aku dapat cerita dari teman yang faskes 1 nya sama denganku, yaitu dokter umum (bukan klinik, bukan puskesmas). Dia bisa melahirkan di RS dengan spontan karena dapat rujukan di week 38, ada riwayat perdarahan di kehamilan sebelumnya sampai transfusi darah.

Nah, bayanganku aku juga bisa dengan prosedur itu kan dengan riwayat pernah secar dan potensi hipertensi.

Kenyataannya...
Aku memang dapat surat rujukan ke RS, tapi untuk kontrol ke poli kandungan. Bisa sih untuk melahirkan, tapi harus ke poli dulu. Kalau poli RS sudah tutup, rujukan nggak bisa dipakai. Jadi, aku harus tetap ke bidan jejaring (karena faskes 1 ku itu nggak ada fasilitas bidan/melahirkan). Sebagai catatan, bidan jejaringnya super jauh dari rumah. Lebih deket banget ke RS tujuan malah. Dokter umum di faskesku cuma bisa bilang, semoga kerasanya nggak pas tengah malem. LOL. Melongo eyk dibuatnya.

Malah susternya bilang kalau normal ya emang nggak bisa klaim BPJS. Hmm? Bukannya bisa di faskes 1 atau bidan jejaring? Tapi, faskes 1 ku ini juga nggak nyuruh aku periksa ke bidan jejaring. Mereka sendiri ngakuin itu jauh banget.  Dokter umumnya juga nggak meriksa aku juga di TKP. Yang aku herankan kenapa bidan jejaringnya bisa di luar jangkauan gitu, ya?

Yang bikin aku gondok lagi adalah... pas ke sana, dia udah bisa ngerujuk ke Hermina dan Sakina Idaman yang notabene adalah RS tipe C. Kalok ada yang baca ceritaku sebelumnya yang harus ke tipe D itu, kesel deh. Katanya, pas kedatanganku sebelumnya itu sistemnya eror. Padahal, waktu itu mereka kekeuh banget bilang peraturan baru aja berubah yang mana nggak bisa rujuk ke Hermina atau Sakina lagi. Asembuh deh sus, suka-suka lu ajewww~

Balik lagi ke rencana melahirkan. Jadi gimana nih? Aku nggak disuruh lahiran di bidan, tapi juga prosedur ke RS nya kok kayaknya bikin cemas banget, ya? Kayak nggak pasti gituhhh.

Galau deh tuh aku dan pak baba~

Selanjutnya, berbekal info sana sini. Katanya kalau darurat, boleh di RS manapun pakai BPJS. Tapi, aku nggak mau ambil resiko karena cerita dari berbagai info beda2. Ada yang bukaan 4 diterima, ada yang bukaan 5 ditolak. Kebanyakan info melahirkan dengan BPJS tuh yang secar terencana. Bahkan ada juga cerita yang nggak ada masalah apapun, biar bisa BPJS, dokternya malah nyaranin secar aja dengan indikasi fiktif. Huhuhu. Kutakud kan ya kalok ngapusi. Kuingin bisa pake BPJS dengan prosedur yang berlaku.

Berarti, kami putuskan untuk survey ke RS, biar makin mantep, nggak cuma atas cerita orang.

1. JIH
Aku kontrol lagi ke dr.Mitta Prana yang selalu menenangkanque. Aku cerita kalau pengin pake bpjs bisa tidak? Doski menjawab, karena JIH RS tipe B emang agak sulit. Sebaiknya ke Hermina aja. Aku paham banget aturan ini.

Tapi, biar makin mantep, aku tetep tanya ke cs bagian kandungan tentang prosedur persalinan di JIH dengan BPJS. Mereka hanya menerima pasien rujukan dari RS tipe C, tipe di bawah mereka, bukan faskes 1. Atau misalnya pun gawat darurat itu yang memang sangat butuh operasi mendadak saat itu juga.

Yang dianggap darurat sama RS ini, apa?
Nggak ada patokan harus bukaan berapa, pokoknya yang bisa menentukan adalah pihak UGD. Bahkan pecah ketuban pun kalau masih bisa dibalikin ke faskes di bawahnya, ya dibalikin.

Bye bye JIH. Jelas aku kelewat nekat kalok mutusin ke sana dan tetep pengin BPJS. Karena, keadaan darurat seseorang nggak bisa diukur sendiri.

Lanjutttt...

2. Hermina
Rs ini menerima persalinan BPJS asal dengan rujukan faskes 1. Yang agak beda adalah info masa berlaku surat rujukan. Mba bidan CS kekeuh banget rujukan berlaku 3 bulan, dan kalok belum habis, nggak bisa minta lagi. Sedangkan yang selama ini kutahu dari faskes 1 dan RS Queen adalah 1 bulan. Beda lagi maaaaak, mulai senewen.

Walaupun aku ada riwayat secar, tetep harus pakai surat rujukan faskes 1. Enaknya di sini, surat rujukan nggak perlu dibuat pada saat mendesak mulai kontraksi. Jadi, seminggu dua minggu sebelum tetep bisa. Trus, surat rujukan tujuan ke poli juga nggak masalah. Nggak perlu harus ditujukan ke UGD. Nahlo, mana yang bener? Faskes 1 apa RS ini? Hehehe.

Lalu, apa yang termasuk gawat dan bisa diterima melalui UGD tanpa rujukan?
Hanya Allah dan pihak UGD yang bisa menentukannya, LOL. Sama sih, nggak bisa dipatok harus bukaan berapa.

Well, makin bingung kan tuh oe. Pasalnya surat rujukanku itu tujuannya Queen Latifa, kalaupun mau diganti ke Hermina, menurut mba bidan CS harus nunggu 3 bulan. Lah anak guwa masa harus lahiran setelah 1 tahun di kandungan? Naudzubillah.

Akhirnya kami putuskan untuk balik maning ke RS Queen. Kami tanyaaaaaa lagi ke CS. Huft. Kenyang oguttt.

3. Queen Latifa
Mba CS menjawab, harus pakai rujukan faskes 1 nanti kalau operasi, Bu. Berkali2 mba CS njelasin kalau operasi kalau operasi moloeee. Kalok spontan kepriwe, Mbaaa?

Dia jelasin kalau spontan ya langsung UGD, tergantung nanti masuk darurat apa nggak. Bisa jadi bukaan 2 udah darurat. Bukaan 5 belum darurat. Tergantung kondisi ibu, bayi, dan pemeriksaan. Menurut mba CS ini, yang kutangkep, riwayat secarku nggak digubris, hahahaha.

Yang mengezutkan, doi bilang bahwa kalok mau pakai BPJS yang bisa cuma dr. Herlina. Katanya, dr. Arum lagi perpanjangan izin BPJS. Hmm? Bisa ya RS BPJS tapi dokternya ada yang enggak? Kutak paham jugs.

Galauuu maninggg. Hahahaha.

Tarik napas, buang napasss...Namaste.

Waktu berlalu bersama kegalauan hati hingga aku masuk ke 37 weeks. Datanglah kami ke dr. Herlina. Oke, ini terakhir mastiin gimana Queen mau nerima eij atau mencampakkan eik? LOL.

Bersama dr. Herlina...

Periksa periksa, usg usg, bayi gendut sehat alhamdulillah. Usia 37 weeks ini beratnya 3054 gram. Lalu, dokterpun bertanya, mau dicoba normal nggak, Bu?

Baiknya budok ajaa, saya ikuddd~

Lalu dia bilang, oke ini ditunggu sampai HPL ya. Kalau tetep nggak keluar, operasi lagi ya? YA DOK SIP!

Nanti selama proses juga harus alami nggak boleh induksi. Kalau macet bukaannya. Tindakannya operasi lagi ya? SIAP DOK LAKSANAKAN!

Ini ibu nggak boleh melahirkan di bidan, di klinik, di puskesmas. Harus di RS, ya. Ini rujukannya udah ke sini, kan? Berarti nanti lahiran di sini, ya... SIAP DOK! TERIMA KASIH UNTUK TYDAQ MENCAMPAKKANQUE SEPERTI YANG LAIN! *nangis haru*

Kalau nanti lewat HPL, ibu langsung minta rujukan faskes 1 untuk operasi di sini. Kalau sebelumnya udah kontraksi alami, masuk UGD aja, tunjukkin buku KIA nya udah ada riwayatnya. Nggak usah pakai rujukan. SUMPAH DOKKK?

Bisa diterima dok? Sama dokter Herlina???

Iya bisa Bu, bisa-bisa.

HUFT LEGA KAYAK UDAH LAHIRAN LOL. Nggak deeenk. Wkwkwk.

Dan pada titik itu, akhirnya aku pasrah banget. Kalopun nanti BPJS tetep nggak bisa diklaim, yaudah kami siap bayar (berhubung selama ini dapet infonya beda orang beda info, jadi siap-siap aja kalok didepak).

Aku merasa udah usaha selama ini. Jadi, nanti biar Allah aja yang atur aku bisa BPJS atau tidak. Selama ini pikiran masih kurang tenang karena fasilitas RS lah, karena prosedurlah. Tapi, alhamdulillah saat 37 weeks kemarin, aku udah qonaah mau di Queen Latifa. Tiba2 rasa cemas berlebihan yang lalu-lalu lenyap. Mungkin karena support dari sahabat-sabahat terdekat yang membuatku bisa namaste, juga berusaha pasrah sama Allah. Cieelah Bund!

Oiya, btw, mungkin aku terlihat ngotot banget ya usahain bisa klaim BPJS ini? Hehe. Karena ada riwayat secar, aku harus jaga2 kalok nanti secar lagi kan mayan banget ya biayanya. Kayak dulu pas anak pertama, mana kepikir akhirnya secar, tapi harus secar. Di JIH pula, untung ambil kelas 3, jadi masih bisa diusahain bayar mandiri (belum zaman BPJS).

Bukannya nggak siap materi, tapi ya kalok bisa memanfaatkan fasilitas (sesuai prosedur alias nggak akal-akalan) kenapa nggak? Bisa dibaca juga di curhatanku sebelumnya.

Baique, akhirul kalam, mohon doanya apapun jalannya bisa dilancarkan dan disehatkan yaaa~

Love,
@diladol





Rabu, 11 Juli 2018

Cerita Hamil Mil #8 : Update Review Safari Dokter Kandungan di Jogja 2018

Alohaa! Sebelumnya akika pernah cerita tema yang sama di blog ini. Search aja di page lama, yah. Tapi, itu tahun 2013 saat hamil anak pertama.

Ternyata, penyakit kebiasaan ganti dokter itu tetap mengakar dalam sanubarique. Jadi, tahun ini pun eik telah mencoba 7 dokter obgyn. Wow, mayan juga yah safari dokter eik. Baique, kan kuulas dalam selayang pandang sekapur sirih, yauw! Semua yang kutulis atas dasar pengalamanku ya, bisa jadi beda dengan orang lain, termasuk kamu.

1. dr. Danny Wiguna, spog

Ini dokter pertama yang kutemui pada 2017 lalu saat aku dan Pak Baba sudah mantep pengin ikhtiar anak kedua. Saat itu aku emang belum hamil, aku konsul kok telat haid udah 4 bulan, lalu dikasih obat sama beliau, dan 3 hari kemudian langsung lancar. Siklusku emang suka ngaco, sebelum ini saat belum nikah dulu, aku juga pernah minum obat semacam itu. Kasus ini terjadi pas banget setelah aku diet dan rajin olahraga di bulan-bulan itu. Dr. Danny bilang,"Yah Bu, nggak usahlah diet-diet, bentukan kayak ibu gini nggak bakal bisa kurus. Udah tar aja kalau anaknya udah gede." Wakakakakk, untung oe masih hormat ni sm orang.

Praktiknya waktu itu di apotek Dina Farma jalan Godean. Aku ke sana atas rekomendasi suhu blogger parenting Noni Rosliyani. Dr. Danny adalah obgyn desye dulu.

Superramah dan kocak, serta srawung banget, banyak banget cerita, wwkwk. Dokter ini tipe nyantai dan ceplas-ceplos ngomongnya. Pas kutanya, gimana dok biar sukses segera hamil lagi? Doi jawab, "Nggak usahlah bu saya ajarin lagi, ibu sama bapak juga udah buktiin sendiri bisa bikin anak pertama. Dah nanti ke sini lagi udah hamil." Aku sebenarnya suka-suka aja sama doski, tapi di perjalanan, pas aku udah bener hamil, doi tutup praktik donkkk di apotek dina yang deket rumaaah. Jadi, harus ke RS Panti Rapih, Hermina, atau Siloam. Terlalu usaha sih. Dulu pilih dia karena deket rumah, meski kurang sreg kalok bukan dokter perempuan.

2. dr. Intan Titisari di RS JIH

Ini adalah dokter yang kutemui saat tespeckku udah positif. Dokternya masih muda. Nggak ada yang spesial maupun negatif, sih. Aku cuma ketemu sekali dengan dr. Intan ini. Oke-oke aja sih. Pas itu doi cukup simpatik karena di usg belum terlihat kantung janin maupun janinnya, padal udah 8 minggu. Ada ceritanya di blog ini, cari aja ndiri yak, hehehe.

3. dr. Mitta Prana di RS JIH

Sejauh riwayat kehamilan keduaku ini, dr. Mitta ini yang paling bisa bikin aku tenang sehabis kontrol. Nggak tahu ya, auranya tuh positif gitu. Orangnya cantik dan supermodis, dan masih muda. Dr. Mitta juga suka jelasin detil, nanyain kita, juga mau mendengarkan saat kita cerita. Saat USG, doi juga sambil njelasin, dan happy gitu. Menurutku dr.Mitta ini positivevibes banget deh, cucok untuk bumil-bumil yang rada parnoan.

Sempat waktu itu aku minta ganti obat mual, karena sebelumnya diresepin yang cukup mahal. Doi nggak keberatan sama sekali, langsung dikasih obat sejenis yang lebih murah, hehe.

4. dr. Diah Rumekti di RS Adinda

dr. Diah ini merupakan dokter obgyn senior, spesialis fetomaternal (penyakit kehamilan gitu-gitu). Nah, aku datang ke dr. Diah karena ingin memastikan ke dr. senior bahwa kehamilanku ini oke-oke aja. Jadi, aku waktu itu kontrolnya selang-seling sama dr. Mitta.

Orangnya cantik dan cara ngomongnya halus, terlihat yakin dan pintar juga. Dokter Diah juga dengerin kita cerita, kok, asal jangan sampai sotoy aja, hahahha. Review lengkapnya ada di blog ini, scroll aja ke bawah, yah! ^^

5. dr. Esti Utami di RS UGM

Dokter ini juga sudah kureview lengkap di blog ini, scroll aja ya ke bawah nanti. Orangnya masih muda dan cantik, lah napa mua dr.obgyn cakep-cakep yah, wkwkw, nggak penting. Dokter Esti ini juga kalau ngomong halus dan njawani, ramah juga.

6. dr. Herlina di RSU Queen Latifa

Dokter Herlina menurut aku masih muda. Saat ketemu kali pertama sama beliau, waktu konsultasi bisa lamaaa banget. Menurutku dia tipe yang mau dengerin dan jelasin panjang lebar. Dalam kesempatan itu, dia beberapa kali mastiin lagi saat pembicaraan kami habis, "Ada lagi nggak Bu yang mau ditanyain?"

Pas USG juga agak lama dan njelasin juga bagian-bagian yang terlihat.

7. dr. Arum Sari di RSU Queen Latifa

dr. Arum Sari ini kayaknya lebih senior dari dr. Herlina. Btw, di Queen Latifa, dr. obgyn cuma 2, ya. Kata orang-orang dr. Arum Sari ini favorit di Queen Latifa. Saat USG, ya beliau njelasin gitu lah ya, bagian-bagian yang terlihat. dr. Arum juga njelasin kok kalau kita tanya-tanya. Cuman, menurutku bukan tipe yang sumringah gitu, wkwkwk. Cuman, dari statement-statementnya tuh, terlihat berpengalaman dan yakin, gitu.

Well, sekian deh review 7 dr. kandungan yang kutemui di kehamilan kedua ini (35 weeks).Sekali lagi kubilang, ini murni pengalamanku ya, bisa jadi kita beda. Dan, inget juga bahwa milih dokter itu cocok-cocokan dan jodoh-jodohan. Bisa jadi, aku cocok, tapi kamu enggak :).

Kalau prinsip yang kupegang, aku dan Pak Baba penginnya ke dokter yang nggak muda-muda banget, hehe. Keyakinan kami mengatakan bahwa makin senior dokternya, makin pinter dan berpengalamanlah doski. Sayangnya, beberapa pengalamanku dengan dokter senior tuh, kurang oke. Kalau nurut pengalamanku, dokter senior tuh cenderung lebih pelit penjelasan dan "pokoknya lu diem aja dah, yakin aja ma guwa". Beda dengan dokter muda yang semangat komunikasi dan jelasinnya masih membara, wkwkw, menurutku yaaaa.

Makin deket ke lahiran, urusan dokter ini udah nggak prioritas lagi dah, lebih fokus ke faskes yang bisa approve BPJSku, siapa pun dokternya, LOL. Yakin aja bismillah semua dokter pinter, banyakin berdoa. ^^

Semoga dapat dokter yang cocok, yah!

Love,
@diladol


Jumat, 29 Juni 2018

Cerita Hamil Mil #7: (Curhatan BPJS) Pindah Haluan Rencana Melahirkan di RSU Queen Latifa Jogja dengan BPJS

Tarik napas panjang dulu sebelum memulai curhatan ini.

Di cerita terakhir tentang dokter dan RS, aku dan Pak Baba memang udah memutuskan untuk lanjut di RS UGM. Alasannya karena bisa pakai BPJS dengan rujukan dari faskes pertama. Sayangnya, keyakinan itu nggak bisa dilanjutkan, T.T.

Saat kontrol di bulan Juni lalu, aku datang ke faskes 1 (dr.umum) untuk periksa. Di sana, aku nggak diperiksa dan langsung dirujuk ke RS karena cerita riwayat hamil sebelumnya dan resiko hipertensi, dll. Sebelumnya, bisa langsung dirujuk ke RS UGM, kan. Eh, saat itu udah nggak bisa lagi. Katanya peraturannya berubah mulai 1 Juni 2018. Dari faskes 1 wajib merujuk ke rumah sakit tipe D, sebelumnya bisa langsung ke tipe C dan B. Fyi, RS UGM itu rumah sakit tipe B. Tentang tipe-tipe ini sila cari tahu sendiri ya. Intinya sih, tipe A lebih tinggi (fasilitas dan layanan lebih memadai) dari tipe B, C, juga D. Sebagai contoh, RS Sardjito itu tipe A.

Lanjut tentang rujukan ya. Di faskes 1 ini udah pakai sistem online, jadi surat rujukannya nggak bisa ditulis manual. Faskes rujukan pun hanya bisa pilih yang tersedia di komputer. Kalau di faskes 1 ku itu (masuknya kabupaten Sleman) kami bisa milih mau kemana. Pilihannya adalah RS-RS tipe D se-Jogja baik kota maupun kabupaten, jadi nggak berdasar wilayah kabupaten tertentu doank. Saat itu RS rujukan yang kukenal ada: RS Condong Catur, RS Happyland, RS Queen Latifa, RS Hidayatullah, dll, yang lain aku kurang familiar.

Akhirnya kami memilih RS Queen Latifa dengan pertimbangan cuma selemparan batu dari rumah. Kepikiran juga Happyland yang cukup populer untuk lahiran ibu-ibu. Tapi, kembali lagi tentang jarak, terlalu jauh dari rumah.

Jadiii, datanglah kami ke RS Queen Latifa berbekal surat rujukan, ketemu dr. Herlina, SpOg. Periksa lancar jaya, dokter komunikatif, mendengarkan, dan kasih kesempatan kami untuk bertanya sepuasnya. Saat bayar, kami nggak full free. Loh, kok bisa? Katanya pakai BPJS? Iya karena vitamin yang diresepin dokter nggak dicover BPJS. Bisa aja sih aku minta ganti dengan vitamin yang bisa dicover. Toh, nyatanya pas di RS UGM dulu bener-bener bisa 0 rupiah kok kontrolnya. Tapi, udah terlanjur dan galau juga nanti kandungan dalamnya beda, begitu menurut apotekernya. Yaudah deh, lumayan harga vitamin untuk 3 minggu 180ribu. Fiuh.

Nah, rencananya, aku akan qonaah lanjut kontrol di RS Queen Latifa ini sampai melahirkan dengan harapan aku bisa dapat rujukan melahirkan dari faskes pertama.

Ya aku emang ada rasa kecewa sih nggak jadi lanjut di RS UGM (cuma karena RS UGM mayan lebih glamor dikit penampilannya daripada Queen Latifa, hahaha). Sebagai alumni RS JIH yang superglamor, makluminlah ke-nggaksignifikan-ku. Tapi, aku juga bisa paham kok aturannya. Aku bukan kaum yang akan dengan mudah ngejudge "ribet pakai BPJS". Bukannya aku nggak ngakuin ya sistem dan pelayanan masih ada kurang sana-sini. Tapi, ya memang harus ada aturan kan ya, yang pakai juga banyak orang. Toh, aturannya tuh juga nggak dzolim, udah mempertimbangkan faktor keselamatan. Cuman, kadang kita tuh suka sotoy gitu loh, merasa gawat padahal enggak, wkwkw. Contohnya aku nih, ya aku emang nggak ada masalah apa-apa di kehamilanku sekarang, harusnya malah cukup lahiran di bidan aja kalau lancar sampai HPL ya. Cuman, aku bisa dirujuk karena ada riwayat cesar dan resiko pre eklamsi. Resiko ya, bukan vonis udah pre eklamsi. Nah, kasus kayak gini di RS Queen Latifa itu mampu menangani. Misalnya nanti ada kejadian yang mereka nggak mampu, pasti akan dirujuk lagi ke RS dengan tipe lebih tinggi. Kalok di kasusku ini, aku tanya kemungkinan apa yang membuatku bisa dirujuk ke RS tipe B bahkan A?

Dr. Herlina jelasin, aku bisa dirujuk lagi kalok nanti misalnya tensinya terpantau tinggi banget lebih dari 180 atau berat bayi di kandungan kurang dari minimal 2500 gram karena butuh NICU yang mereka nggak ada. Nah, ini ngerujuknya bisa sebelum proses melahirkan katanya, jadi dipantau terus aja.

Memang sih, itu kadang bisa bikin kita panik. Gimana nanti kalok dirujuk pas darurat banget harus pindah RS? Jujur aja eik juga adalah ketakutan itu. Cuman, kembali lagi ya sama pertimbangan aturan medisnya emang gitu. Banyak-banyak doa aja, dan positif thinking. Ngomong aja gampang lu bund, biasanya juga mewek-mewek,LOL. Kalok emang nggak bisa menolerir itu, ya bye BPJS aja. (Tapi nggak usah maki-maki BPJS cintaque juga lu ye).

Sejauh ini aku tetep kekeuh pengin berusaha pakai BPJS karena itu satu-satunya asuransi yang kupunya. Bodo amat deh kalok ada yang komen negatif kayak, "ih ribet deh, ih ga takut nanti kalok darurat, ih peritungan bgt demi anak."

Komen-komen kayak gitu (meski kadang rada menyinggung kayak oe miskin amat ya, nyoh duik iki duik aku yo duwee, lol) justru membuatku makin pengin membuktikan bahwa bersama BPJS kita bisa, wakakaka #antekpemerintah. Maksudku, emang itu hak kita yang bisa dimanfaatin kenapa enggak? Toh kita juga iuran tiap bulan untuk BPJS ini. Budjet lahirannya bisa buat hal lain misal kambing aqiqah, jalan-jalan ke Jepang, atau hura-hura. Hehe, becanda. Nyatanya selama ini BPJS udah banyak membantu keluargaku dalam hal medis. Ayahku dengan penyakit jantung udah pasang ring 2x nggak dipungut biaya lagi, belum kontrol bulanannya. Mamaku juga kontrol bulanan mata, hipertensi, operasi juga tercover. Anakku juga beberapa kali opname pakai BPJS alhamdulillah lancar.

Meski begitu, aku juga nggak mau saklek kalok emang mentok BPJS nggak bisa, tetep harus siap keluar uang sendiri, sih. Intinya berusaha memahami aja setiap situasi dan aturan. Ikuti alurnya dengan (berusaha) gentle, namaste hahahaha.

Ebused udah puanjang banget ya, Mah? Kayana segini dulu curhatan dari eik ya. Silakan dibuka termin pertanyaan jika ada.

Moga mangfangat, yah!

Love,
@diladol






Jumat, 18 Mei 2018

Cerita Hamil Mil #6 : DIY Maternity Shoot 27 Weeks

Alohaa

Kan kan kan. Anaknya omdo lagi, masak terakhir update 18 weeks, sekarang sudah alhamdulillah 27 weeks, LOL.

Nggak apa-apa deh. Kali ini, ku cuma pengin update foto ala-ala saat kehamilan 27 weeks. Kemarin aku masuk kerja, trus setelah briefing, Nadia nawarin aku foto-foto, hehehe. Serandom itu. Tadinya, aku pengin loh foto-foto maternity bagus-bagus sama fotografer, tapi kok ya masih sayang aja ya duitnya. Inget kambing aqiqah bayi cowok 2018, LOL.

Jadi ya ini, seada-adanya diposting dulu buat kenang-kenangan yah, hehehe.

Love,
@diladol


 










Jumat, 23 Maret 2018

Cerita Hamil Mil #5: Yoga Pertama di Usia Kandungan 18 Minggu

Telat seminggu nih ceritanya. Minggu lalu, 23 Maret 2018, aku ikut yoga lagi di kantor. Jadi, di kantor eik emang ada kelas senam gitu tiap Jumat pagi, gantian antara aerobic, yoga, dan kadang line dance. Biasanya aku cuma ikut yang yoga. Kalok ikut aerobic, rasanya menggeh-menggeh mau metong nggak kuat. Kalok ikut line dance, ya Allah sungguh pusing pala berbi ngikuti gerakan kaki instrukturnya yang kayak kebelit-belit, LOL.

Well, setelah ribuan abad nggak ikut yoga, akhirnya ikut lagi, kan. Bukan yoga keseus ibu hamil sih, tapi kalau ada bumil ikut biasanya Mba Ratna (instruktur serbabisa) akan menyesuaikan. Gerakan untuk aku dan peserta lain dibedain.

Yoga dimulai dengan latihan pernapasan. Biasalah ya ambil napas, buang napas, masih dalam keadaan berdiri. Trus pelenturan-pelenturan. Bagian ini sesuai petunjuk Mba Ratna nggak boleh ikut maksimal ya, terutama bagian-bagian setengah badan ke bawah. Misalnya, gerakan yang kuda-kuda kaki kanan turun, kaki kiri lurus ke samping. Duh, susah njelasinnya, wkwkw.

Saat gerakan-gerakan yang mulai berat (bagi ibu hamil), Mba Ratna langsung ngasih instruksi keseus. Misalnya pas pose A, kepala turun ke bawah sambil tangan menyentuh lantai dan diregangkan. Saat gerakan-gerakan begitu, aku dikasih gerakan keseus, yaitu...

Silakan dekati tembok, lalu tangan menempel di tembok, badan agak dijauhkan sedikit dari tembok. Mba Ratna menambahkan, gerakannya nahan pipis, ya. Heu? Iya, nahan pipis, trus lepas, nahan pipis trus lepas 2x8. Ini semacam kegel gitu kayaknya sih, tapi versi yang lebih light, LOL.

Sementara yang lain mulai diengek-engek (pose-pose bundet) sama Mba Ratna, aku masih dengan ego nemplok di tembok pojokan. Lama-lama geli ugak coi, "Mba Ratna, ni lama-lama aku kayak orang ego deh." Mba Ratna ngakak sambil bilang, "Demi babynya ya saay, sabar duluuu."

Selain itu, ada gerakan yang tahan setengah jongkok itu loh, yang biasanya bikin paha rasanya kayak mau lepas. Posisinya dari berdiri, trus turun pelan-pelan, tapi nggak boleh sampai jongkok, tahan deh tuh ampe kemranyas. Nah, bagian yang biasanya kusumpahin ini malah jadi favorit. Mba Ratna nyuruh aku cuma ngikutin naik turun tanpa ditahan, pelan-pelan aja. Trus dia bilang tuh, "Yang lainnya tahan ya saay, sampai Mba Dila 2x8." Wakakaa, rasanya pengin kulama-lamain deh tuh. Habis ini, kayaknya temen-temen pada males kalok yoga ada oe-nya, LOL.

Setelah gerakan-gerakan pelenturan dengan posisi berdiri, kami mulai turun ke posisi duduk. Di sini pun, Mba Ratna membatasi. Contohnya gerakan yang kaki ditekuk satu ke belakang, satu lagi selonjor ke depan. Kakiku cukup selonjor dua-duanya aja, sambil atur napas dan istirahat. Meski terlihat terbatas dan ringan banget, nyatanya eke kemringet ugak loh. Mantep!

Lanjutt ke bagian terfavorit yaitu pose relaksasi tiduuur. Aku sih langsung suruh mapan tiduran di matras, sementara temen-temen disiksa lagi dengan angkat turun kaki pelan-pelan yang mana mengakibatkan kesakitan yang memuncak di bagian perut dan paha, LOL. Maap ya gais, eke duluaaaan merem, hihihi.

Relaksasi tiduran ini paling enakk. Kami tiduran santai dengan musik yang menenangkan. Miring kanan, miring kiri, gitu-gitulahhh~

Overall, aku suka bangetttt yoga pertamaku saat hamil ini. Apalagi semua gerakan diperingan. Biasanya kan ikutan diengek-engek Mba Ratna. "Saaaay, yuhuuu, apa kabaaar? Masiii kuaaaat?" Sapa sumringah Mba Ratna kali ini bisa kutanggapi dengan bahagia, sementara itu temen-temenku dah gembrobyos dengan muka-muka masam. :))))

Love,
@diladol




Sabtu, 10 Maret 2018

Cerita Hamil Mil #4: Periksa Kehamilan di RSA UGM dengan dr. Esti Utami, SpOg

Sebenarnya mau cerita ini agak pelit sih, nanti kalok pada tahu trus kepengin juga, antrean eike jadi banyak, donk? LOL. Namun, kembali lagi pada prinsip #bundasoleha2018 yang gemar berbagi dan pembaca blog ini yang nggak seberapa, LOL, jadi yaweslah. Here we go!

Sebelum periksa di RSA UGM ini aku sudah mencoba beberapa tempat, yaitu RS JIH dan RSIA Adinda. Kalok dari kehamilan pertama dan sebelum hamil kedua juga dihitung, berarti tambah: RS Sakina Idaman dan RS Hermina. Nah, aku pengin nyobain RSA UGM karena jaraknya yang benar-benar satu kali salto dari rumah. Dan, meski doi RS tipe B, RSA UGM ini menerima rujukan langsung dari faskes pertama. Gosip-gosip yang terdengar kalok ada riwayat SC, yey bisa dirujuk melahirkan di RS. Jadi, mulai sekarang cari RS yang lengkap, cucmey, dan ramah BPJS.

Selain karena dekat, RSA UGM juga punya fasilitas NICU (ICU untuk bayi). Nggak berdoa sampai pakai yah. Namun, karena dulu anak pertamaku sempat masuk NICU JIH, aku makin yakin harus milih tempat lahiran berupa RS yang selengkap-lengkapnya. Kalok bisa yang BPJS, kalok nggak bisa ya tetep siap duwik maning duwik maning, :D.

Okeh. Kali pertama periksa di RSA UGM, kita harus daftar dulu. Kalok yey belum terdaftar sebagai pasien, yey tida bisa ambil nomor antrean via telepon. Dan, daftarnya harus dateng langsung banget. Huft, siap melawan mager dan antre yes. Meskipun ambil jalur umum (non-BPJS) antrean pendaftaran di RSA UGM ini cukup kiamat. Buat daftar doank, aku datang pagi dan dapat nomor 19. Padahal setelah daftar, nomor antre polinya nomor 2.

Dokter kandungan di sindang ada 2, yaitu dr Esti Utami, SpOg dan dr Widya Astuti, SpOg. Jadwal praktik mereka sama, Senin-Sabtu pukul 09.00-12.00 WIB. Aku memilih dokter Esti karena belakangnya ada embel-embel (k) alias konsultan subspesialis. Btw tambahan gosip nggak penting, dokter ini basodara, kakak-adik, dan dua-duanya adalah kakak ipar dari travel blogger tersohor Simbok Olenka. Hehehe.

Key, lanjut, yak! Seperti biasa akika nerves kalok mau ketemu dokter yang belum pernah ditemui. Nanti kalok galak gimana? Kalok cuek gimana?

Akhirnya setelah nunggu nggak berapa lama, masuk juga ke ruang praktik. Ruang praktiknya cukup luas dibanding dengan RSIA Adinda dan RS JIH. Ruangan untuk USG berjarak banget dari meja dokter dan ada penutupnya, tapi tenang suami-suami bole masuk, hehe.

Dokter Esti Utami, SpOg ini cantik dan terlihat masih muda. Doi juga sopan dan ramah, sering menjawab dengan aksen Bahasa Jawa alus, jadi sayang, deh. LOL. Pertanyaan-pertanyaan juga dijawabnya dengan enak, nggak buru-buru. Fyi, antrean poli ini emang lengang sih, hahaha, i love RSA UGM. Doi menjelaskan perkembangan janin, ukuran janin, dan nasihat lainnya.


Usia janin pada 1 Maret 2018 adalah 16 minggu 3 hari (kami sepakat lanjut pakai usia USG karena mens yang nggak teratur). HPL akika ditentukan 15 Agustus 2018. Dari tiga USG sebelumnya juga sama terus HPLnya. Berat janinnya 149 gram dan itu sae-sae aja say~. Dokter bilang bagus. Untuk urusan berat janin, aku emang cukup was-was. Intinya aku nggak mau BBLR (berat badan lahir rendah) pada anak pertamaku terjadi lagi. Jadi, aku selalu langsung cerita ke dokter yang kutemui untuk konsen pada hal itu. Dari ketiga dokter yang kutemui langsung menyarankan aspilet untuk pelancar darah agar asupan makanan lancar ke janin. Dokter Esti juga menyarankan lanjut aspilet dan ditambah penambah darah. Katanya tensi yang potensi tinggi memang sangat berpengaruh pada berat janin. Siap!

Lalu, tentang kontrol dengan BPJS, dr. Esti dengan ramah menjawab bisa, karena aku ditakutkan potensi tensi tinggi (jangan sampai pre-eklamsia). Dokter memintaku untuk tes urin lengkap dan darah, dan menyarankan untuk melakukannya di Puskesmas saja. Kabar dari bidan-bidan RSA UGM, di Puskesmas malah nanti diperiksa juga menyeluruh dari tes lab, gigi, dan gizi GRATIS, malah nanti bisa sekalian dirujuk ke RSA UGM untuk kontrol selanjutnya. Jadi, silakan menggunakan kesempatan itu. Paling enggak wajib 1x periksa di Puskesmas untuk pendataan pemerintah. Kader posyandu di kampungku pun berpesan demikian. Tentang Puskesmas ini akan kuceritain di post selanjutnga, yah!

Well, acara konsultasinya selesai, kami lanjut antre obat dan bayar. Hmm, ini adalah bagian favoritku karena total bayarnya murceee seusssss! Ughlala. Biaya dokter, cetak hasil USG, dan vitamin-vitamin cukup 211ribu saja! Emjiii~


Sepertinya, kami cukup mantap untuk lanjut periksa di RSA UGM karena merasa cucmey dengan dokter, jarak, dan biayanya. Meskipun, lagi-lagi masalah layar USG yang bures membuatku tiada paham, LOL. Jadi, yakin aja sama dokternya.

Love,
@diladol